Sabtu, 08 Januari 2011

Surat Untuk Sahabat


Untuk sahabatku yang selama ini dengan setia berada disampingku. Aku tahu bukanlah manusia sempurna, bukanlah sosok yang baik. Tapi aku selalu berusaha, menyempurnakan diri menjadi orang yang bisa mendengar keluh kesahmu disaat kau butuh tempat berpeluh, memberimu tawa disaat kau merindukan canda, menghapus tangismu ketika hati tersayat oleh duri luka.
Terkadang aku bingung dengan arti persahabatan sesungguhnya. Namun dari kalian aku mengerti bahwa persahabatan adalah harga mati yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Persahabatan adalah air yang menghapus dahaga disaat kau tengah haus cinta dan kasih sayang. Persahabatan bukan hanya sekedar kata, tapi memiliki makna yang mendalam dibaliknya.
Hatiku meragu ketika perselisihan terselip dalam hari-hari kita. Lalu kusadar, aku mengenalmu jauh lebih dalam. Pertengkaran, perkelahian, perdebatan, hanyalah bumbu yang malah membuat kita jauh lebih dekat, saling menggengam lebih erat. Darinya, jangan pernah berhenti untuk mencurahkan apa yang menghantui benak kita.
Kata orang, ada awal ada akhir. Satu yang kupercaya, persahabatan ini bukanlah suatu yang terikat oleh waktu. Kita bukanlah makhluk abadi, namun kenangan kita bersama akan kubawa sampai mati.
Selama ini bibirku tertutup, tidak pernah mengungkapkan dan terus memendam kisahku sendirian. Namun ada yang ingin ku ucapkan. ‘ I love you guys. Thank you for everything.’ J

Selasa, 21 Desember 2010

Pelajaran Mengarang

Cerpen berikut adalah karangan Seno Gumira Ajidarma. merupakan salah satu cerpen favorit saya. semoga semua juga demikian.


*****
Pelajaran mengarang sudah dimulai.
Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.
      Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.
      Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
      Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”.  Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
      Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
      Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
     “Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara  dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.
***
  
      Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.
      “Mama, apakah Sandra punya Papa?”
      “Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.
      Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan dimuka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
      “Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
      Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.
      Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.
      “Anak siapa itu?”
       “Marti.”
      “Bapaknya?”
      “Mana aku tahu!”
      Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.
      “Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”
      “Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
      Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.
***
      Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi.
       Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.
      “Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”
       Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu ku kasih makan dan ku sekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”
      Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.
      “Mama kerja apa, sih?”
      Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.
      Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”
      Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.
      “Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”
      “Seperti Mama?”
      “Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”
      Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager …
      Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri dimuka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.
     
DITUNGGU DI MANDARIN
KAMAR: 505, PKL 20.00

   
      Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu. Tapi, begitulah , ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkanya.
***
      Empat puluh menit lewat sudah.
      “Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu guru Tati.
      Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang teralalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Bebarapa diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari keluar kelas.
Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.
     “Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.
     Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.
Ia  juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.
      “Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.
      Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra menyelipkan kertas di tengah.
      Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
       Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:
Ibuku seorang pelacur…
                     

Untuk SAHABAT

Mungkin aku terlalu lugu
Hanya percaya pada janji palsu
Entah sampai kapan aku terus tertipu
Ya, aku memang dungu!

Untuk SAHABAT yang menusukku dari belakang
Terima kasih untuk menyakitiku
Hati tersayat meredam pilu menusuk kalbu
Haruskanku terus terlarut tiap tuturmu?

Untuk SAHABAT yang memberiku harapan
Hinggaku melayang sampai berjalan di atas awan
Lalu jatuh pada kesalahan
Itu sakit, sampai ku tak mampu berdiri

Untuk SAHABAT yang ada disana
Kutampilkan senyum agar kau bahagia
Walau sudah kau berdusta
Suara hati mengatakan, kau SAHABAT
Lalu sampai kapan kau terus ku panggil SAHABAT?

Senin, 20 Desember 2010

Mungkinkah Ini Cinta?


Ada apa dengan hatiku?
Mengisi hari dengan gelisah
Waktu berlalu tak terasa
Melamuni hari dengan kekosongan
Semua impianku melayang-layang
Melihat wajah indah yang terbayang
Aku menanti dan terus menanti
Sampai kelak menemukan jawaban
Aku terdiam dan terpaku
Apa yang sedang kupikirkan?
Akupun tak tahu
Dan kembali menyimpan pertanyaan
Mungkinkah ini yang mereka sebut cinta?

Kupu-kupu itu Telah Pergi

Kupu-kupu itu telah pergi
Meninggalkan bunga yang layu
Tiada lagi keindahan tersisa
Yang ada hanya keheningan

Kupu-kupu itu telah pergi
Mencari manis yang baru
Menghisap segala kenikmatan
Lalu terbang kembali melayang

Kupu-kupu itu telah pergi
Mencari tempat bersarang
Untuk kembali memberi benih
Agar kelak ada kehidupan

Kupu-kupu itu telah pergi
Menemui ajalnya dan surga
Kesempurnaanmu kini sirna
Selamat jalan kupu-kupu tercinta

Sewaktu Galau

Janganlah pernah berfikir kalau kau sendirian
Sebab Tuhan itu nyata adanya untuk menemanimu
Ketika kau merasa hampa
Ingatlah kalau setiap saat selalu terselip kesenangan untuk mengisi kekosongan
Saat kesedihan merajai hatimu
Percayalah bahwa kebahagiaan sedang menantimu
Waktu kau merasa hidup sudah tiada artinya
Kembalilah mengucap syukur karena hidup itu anugerah
Pada intinya, yakinkanlah hatimu kalau kau akan dan terus bahagia
Tersenyumlah karena itu akan menjadi tameng melawan segalanya

Coretan Usil


Saya palsu dan saya akui itu. Berusaha terlihat tegar ketika orang lain menatap saya dan bertanya “ada apa denganmu?”. Saya menampilkan senyuman dan dengan manisnya berkata “tidak apa-apa”. Hati saya sering membeku dan bertanya-tanya, layakkah seseorang mengekspresikan kesedihannya ketika sebenarnya tidak seseorangpun yang benar-benar peduli. Saya harus meyakinkan hati sendiri, tampil sedih di hadapan orang lain yang akhirnya menarik simpati sampai semua orang iba bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Berkat itu, saya menutup diri dan tidak mengijinkan orang lain tahu jauh lebih dalam mengenai siapa saya.

Inilah mengapa saya benci menangis. Karena dengan menangis semua orang melihat saya sebagai sosok yang lemah. Hei kalian! Saya memiliki hati baja. Kalau tidak, berapa kali saya akan mencoba bunuh diri karena tekanan yang bertubi-tubi dari manusia-manusia laknat yang dengan ringannya mengeluarkan kata-kata terkutuk dan dengan senangnya menertawakan kelemahan pada diri manusia ini. Yak! Itu lucu sekali! Tapi bila ku objeknya, tidak lagi!

Untuk mengatasi semuanya, saya belajar menyalahkan diri saya sendiri. Kenapa saya tidak bisa tampil baik depan orang lain? Kenapa saya membiarkan orang lain menghina saya? Kenapa saya dilahirkan dengan fisik dan raga yang tidak sempurna? Kenapa saya harus masuk ke lingkungan yang tidak menyenangkan? Kenapa dan kenapa? Dan jawabannya selalu sama, ini adalah kebodohan saya. Saya tidak akan lagi marah pada anda, anda, dan anda. Biarlah ini tetap menjadi kesalahan saya, selamanya.